Rabu, 17 Juni 2015

Ilmu, rizki dan amal

Ilmu, Rizki, dan Amal

Oleh: Prayogo

(Seperti telah dimuat di milis ITB-79, 15 Feb 2013)

Teman-temanku rahimakumullah

Dunia bukanlah segala-galanya, akan mengalami kehancuran. Ia hanya jembatan penyeberangan belaka. Segala prasarana dan sarana yang AllahSubhanahu wa Ta’ala adakan di dunia ini harta, kekuasaan dan lain2, semestinya dioptimalkan sebesar-besarnya untuk kepentingan yang lebih besar, meraih kehidupan akhirat yang paling baik.

Karena itu pada hakikatnya dunia tidak tercela dzatnya. Pujian atau celaan tergantung pada tindak tanduk seorang hamba dalam menjalani siklus kehidupan di dunia. Kehidupan yang baik yang diperoleh penduduk surga, tidak lain karena kebaikan dan amal shalih yang telah mereka tanam ketika di dunia. Maka dunia kampung jihad, shalat, puasa, dan infak di jalan Allah, serta medan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Allah berfirman:

(kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”. (QS al-Haqqah/69:24)

Teman-temanku ingatlah terhadap empat hal:

1. Aku tahu bahwa rezkiku tidak akan dimakan orang lain, maka tentramlah jiwaku

2. Aku tahu bahwa amalku tidak akan dilakukan orang lain, maka akupun disibukkannya

3. Aku tahu bahwa kematian akan datang tiba-tiba, maka segera aku menyiapkannya

4. Dan aku tahu diriku tidak akan lepasdari pantauan Allah, maka aku akan merasa malu kepada-Nya

Dalam kesempatan ini marilah kita mendulang faedah dari doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selalu dibaca setiap pagi hari setelah shalat shubuh sebelum beliau melakukan aktifitas kesehariannya. Sebuah doa yang berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari salah seorang isteri Nabi Ummu Salamah radhiyallahu anha

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً.

 

Allohumma innii as-aluka ‘ilman naafi’aa, wa rizqon thoyyibaa, wa ‘amalan mutaqobbalaa.

“Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepadaMu ilmu yang bermanfaat, rezki yang halal dan amal yang diterima.”

Seorang muslim yang berusaha meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hendaklah mempelajari pelajaran dan mutiara hikmah yang terkandung dalam doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini. Agar kita dapat membacanya dengan hati yang utuh, dengan menghadirkan jiwa & dapat mengamalkan konsekuensi2 dari doa yang kita baca tsb sesuai dengan tuntutan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Marilah kita memetik beberapa pelajaran2 yang dijelaskan para ulama Islam tentang hadits sekaligus doa yang senantiasa dibaca Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Pelajaran 1: Seseorang hendaknya menentukan tujuan sebelum beraktifitas. Karena ini adalah salah satu kunci sukses dalam hidup. Dan tujuan seorang muslim dalam aktifitas sehari-hari adalah 3 hal

Pelajaran 2: Seorang muslim hendaknya selalu meminta pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam mewujudkan / merealisasikan tujuannya, cita2 yang ingin dia dapatkan. Ia harus memperdalam tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia harus menancapkan di dalam sanubarinya prinsip laa haula wa laa quwata illa billah (Tidak ada daya & kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Lihat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala , beliau tidak pernah menggantungkan asanya dengan dirinya sendiri. Beliau berdoa, meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala setiap pagi untuk diberi ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal & baik, dan amal yang diterima. Beliau Nabi, beliau pemimpin ummat manusia, namun begitu besar tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, begitu besar pengharapan beliau kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan beliau selalu meminta pertolongan kepada Allah .Subhanahu wa Ta’ala. Berbeda dengan Karun yang meyakini bahwa kekayaannya diperoleh karena keahlaiannya semata. Pola pikir semacam ini menyebabkan Karun diadzab ditelan bumi. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Karun berkata: “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (QS al-Qashash/28: 78).

“Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. Dan tiadalah ia termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).” (QS al-Qashash/28: 81).

Ingkar terhadap Allah ‘Azza wa Jalla dan beranggapan bahwa rezeki dan keberhasilan adalah hasil dari kecerdasan dan kerja keras manusia semata menjadi penyebab hancurnya segala kenikmatan. Oleh karena itu marilah kita perbesar  tawakal kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla

Pelajaran 3: Bahwa permintaan 1 yang diminta oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  adalah ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bersumber dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala & hadits2 shahih dengan pemahaman yang benar, pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam & para sahabatnya. Ilmu yang melahirkan & menumbuhkan rasa takut kepada Allah ‘Azza wa Jalla  dan membuat kita beramal yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun lingkungan sekitar yakni menjalankan perintah2-Nya dan menjauhi larangan2-Nya. Inilah ilmu yang bermanfaat. Ilmu ini akan membuahkan buahnya yang terpenting yaitu khosyatulloh (takut kepada Allah), sebagaimana firman Allah  ‘Azza wa Jalla.

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah orang-orang berilmu” (QS. Fathir/35: 28)

Dan sekaligus doa di atas memerintahkan kita untuk berusaha menuntut ilmu agama agar tercipta persatuan antara doa & ikhtiar seorang anak manusia. Tuntutlah ilmu agama agar kita mendapat ilmu yang bermanfaat sebagaimana yang kita minta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena ibadah ini, ibadah yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala  sebagaimana disabdakan

 طلب العلم فريضة على كل مسلم

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Ibnu Majah)

Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala  mewajibkan kita shalat 5 waktu Allah Subhanahu wa Ta’ala pun mewajibkan kita menuntut ilmu agama. Sebagaimana Allah mewajibkan kita puasa ramadhan, Allah pun mewajibkan kita untuk melangkahkan kaki kita, meluangkan waktu kita, mencurahkan tenaga & pikiran kita untuk mengkaji firman2 Allah dan untuk membahas sunnah2 Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu marilah kita menuntut ilmu agama sehingga kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

Pelajaran 4: Permintaan ke 2 yang diminta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  adalah rezki yang halal & baik. Oleh karena itu seorang muslim hendaknya selalu meminta rezki yang halal & baik dan berusaha mencari rezki yang halal tersebut. Hendaklah ia memperhatikan darimana ia mendapatkan hartanya, apa hukum profesi yang digelutinya. Agar dia dapat memastikan bahwa seluruh yang ia konsumsi, istrinya, anak2nya berasal dari harta yang halal. Jangan sampai ada satu suappun berasal dari harta yang haram. Mengapa demikian?  Karena apabila kita mengambil rezki yang haram,

yang kita pertaruhkan adalah terkabulnya do’a2 kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah Maha baik, tidak menerima kecuali yang baik-baik.” Kemudian beliau menyebutkan tentang seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh sampai kusut tampangnya dan penuh debu, ia mengangkat tangannya ke langit sambil berseru, “Ya Rabb, Ya Rabb.” Sementara makanannya, minumannya, dan pakaiannya adalah haram. Iapun dikeyangkan dari sesuatu yang haram. Maka bagaimana akan dikabulkan doanya. (Hadits shahih diriwayatkan oleh Muslim)

yang kita pertaruhkan amal ibadah kita, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

Tidak akan diterima shalat tanpa bersuci dan tidak akan diterima sedekah dari hasil khianat (harta yang haram)” (Hadits shahih diriwayatkan oleh Muslim)

yang kita pertaruhkan masa depan kita di akhirat, negeri yang abadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari harta yang haram. Neraka lebih pantas untuknya.” (HR Ahmad dan ad-Darimi, dishahihkan oleh al-Albani)

Mencari rezeki harus dilandasi dengan niat yang ikhlas. Kita banyak mengenal dalam kehidupan bagaimana seorang ayah, seorang suami yang berletih-letih mencari rezki akan tetapi ia tidak pedulikan apakah itu halal atau haram. Bagaimana uang yang didapat dengan keletihan, dengan segala daya & upaya yang dia miliki dihambur2kan, dibuang, tidak berarti  oleh anak2 dan istrinya kepada sesuatu yang tidak ada manfaat bagi dunianya & akhiratnya. Dia tidak bisa berbahagia dengan keluarganya. Siangnya dia habiskan di perusahaannya malamnya dia habiskan bersama teman2 bisnisnya. Begitu hari2nya. Dia terjerumus kedalam maksiat2 yang akhirnya menjebabkan dia dalam su’ul khatimah di akhir kehidupannya. Dan di akhir kematiannya anak2nya mengasah parang berebut harta warisan.

Lihat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala mencoba orang tersebut dengan rezki yang dia cari. Allah binasakan dia, Allah celakakan dia, Allah habiskan hidupnya akibat dari rezki yang dia cari dengan tidak halal.

Sebaliknya berapa banyak seorang suami, seorang laki2 mencari rezeki di landaskan keikhlasan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tuntun hidupnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan berikan ketenangan, kebahagiaan kedalam hatinya & hati orang2 yang bersamanya, istri & anak2nya. Sehingga dengan ketenangan tersebut dia bisa menapaki kehidupan sekalipun menurut pandangan orang lain dia kekurangan.

Jaman yang telah disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  jaman yang tidak peduli dari yang halal & haram di saat itu pula kita dituntut untuk benar2 mencari harta yang halal. Kita mengharapkan setiap istri & anak menghantar kita setiap pagi kemudian membisikkan kata ke telinga kita yang seharus dihapal oleh suami atau ayah, wahai ayah, wahai suami, kami sabar atas lapar & haus di dunia akan tetapi kami tidak sabar api neraka jahannam di akhirat. Jika seandainya ini dibawa setiap suami atau ayah yang berangkat ke tempat kerja, ter-ngiang2 kata2 istri & anaknya untuk mencari harta yang halal saja yang bisa mendatangkan keberkahan, ketenangan, yang tidak di kejar2 dosa & maksiat. Maka niscaya apa yang terjadi di negara kita ini dari kerusakan, kehancuran, dari korupsi, dari perampokan, pencurian dan semacamnya akan hilang karena semuanya telah berusaha mencari harta yang halal.

Pelajaran 5: Permintaan ke 3 yang diminta Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah amal ibadah yang diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Doa ini menunjukkan amal ibadah kita tidak pasti diterima oleh Allah. Fakta ini didukung dengan berbagai dalil baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah. Diantara sebuah hadits riwayat Imam Ahmad didalam musnadnya.

“Betapa banyak orang yang berpuasa ia tidak mendapatkan ganjaran apa2 dari puasanya kecuali hanyalah lapar & dahaga. Dan betapa banyak orang yang shalat malam (shalat tahajjud) ia tidak mendapatkan ganjaran dari shalatnya kecuali rasa kantuk”

 

Ini menunjukkan tidak setiap amal yang dilakukan manusia pasti diterima, pasti membuahkan pahala di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan ulama kita telah menjelaskan amal ibadah apabila ingin diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, membuahkan pahala disisi Allah Subhanahu wa Ta’ala maka pelakunya harus melaksanakan 2 syarat diterimanya amal ibadah.

Dalil dari dua syarat diterimanya amal ibadah disebutkan sekaligus dalam firman Allah Ta’ala,

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya“.” (QS. Al Kahfi: 110)

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”, maksudnya adalah mencocoki syariat Allah (mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen). Dan “janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”, maksudnya selalu mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat syirik pada-Nya. Inilah dua rukun diterimanya ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam..”

Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala menjelaskan mengenai firman Allah Ta’ala

“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2), beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”

Lalu Al Fudhail berkata,  “Apabila amal dilakukan dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas, amalan tersebut juga tidak akan diterima. Amalan barulah diterima jika terdapat syarat ikhlas dan showab. Amalan dikatakan ikhlas apabila dikerjakan semata-mata karena Allah. Amalan dikatakan showab apabila mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Dua syarat diterimanya amalan ditunjukkan dalam dua hadits.

Hadits pertama dari ‘Umar bin Al Khaththabb, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena  Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah pada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrah karena dunia yang ia cari-cari atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya berarti pada apa yang ia tuju (yaitu dunia dan wanita, pen)” (HR. Bukhari no. 6689 dan Muslim no. 1907)

Hadits kedua dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Dan

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”(HR. Muslim no. 1718.).

Dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang sangat agung mengenai pokok Islam. Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir (lahir). Sebagaimana hadits ‘innamal a’malu bin niyat’ [sesungguhnya amal tergantung dari niatnya] merupakan timbangan amalan batin. Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama sekali

Teman2ku yang dirahmati Allah, hidup ini sangat singkat, hidup ini hanya sekali saja. Oleh kerena marilah kita isi hidup ini dengan mengamalkna doa yang disampaikan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam  dan membumikannya dalam kehidupan sehar-hari. Marilah kita menuntut ilmu agama, marilah kita mencari rizki yang halal, dan marilah kita berupaya dan berusaha untuk mengamalkan amal ibadah yang diterima oleh Allah, yang ikhlas kepada-Nya dan mengikuti tuntunan nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Faedah doa rizki, ilmu dan amal

Faedah doa rizki, ilmu dan amal

Pembaca sekalian, do’a adalah bagian dari ibadah yang paling utama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa adalah ibadah” Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya), “Rabb-mu berfirman : ‘Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan permintaan kalian. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk ke dalam Jahannam dalam keadaan hina.” (QS. Ghafir : 60) (HR. Tirmidzi, dinyatakanshahih oleh Syaikh Al Albani). Melalui kesempatan kali ini, marilah kita menelaah faidah dari salah satu doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memohon ilmu, rizki, dan amal.

Teks Hadits

Dari Ummul Mu’minin, Ummu Salamah Hindun binti Abi Umayyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa setelah shalat shubuh, “Allāhumma innii as-aluka ‘ilman naafi’an, wa rizqan thayyiban, wa ‘amalan mutaqabbalan”, (Ya Allah aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ahmad, Ath Thabrani, An Nasaa-I, dan lainnya. Ibn Hajar Al ‘Asqalani dalamNataa–ijul Afkar (2/329) dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Syaikh ‘Abdul Qadir Al Arnauth dalam tahqiq untuk Zaadul Ma’ad(2/342) menilai hadits ini derajatnya hasan. Kemudian hadits ini dinilai shahih oleh Al Albani dalam Shahih Ibn Majah no 925.

Faidah dari doa tersebut dijelaskan dalam poin-poin berikut ini.

Awal Hari, Penetapan Tujuan Seorang Muslim

Apabila kita renungkan, pembaca yang mulia, antara doa yang diucapkan oleh Nabi shallallahu  ‘alaihi wa sallam pada setiap shalat shubuh dengan waktu disyariatkannya doa tersebut, maka akan kita dapati adanya kesesuaian. Waktu shubuh ialah waktu pembuka suatu hari bagi seorang muslim. Alangkah agungnya bila di waktu tersebut seorang hamba memanjatkan doa kepada Allah Ta’ala akan tiga perkara : ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amalan yang diterima.

Apabila kita renungkan kembali tentang tiga perkara tersebut, akan kita dapati bahwasanya tiga hal tersebut : ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amalan yang diterima, ialah tujuan hidup seorang muslim. Apabila ia mengumpulkan seluruh tujuan-tujuan dalam kesehariannya dan meringkasnya, pada akhirnya ia akan kembali pada tiga hal ini. Maka jadilah doa ini sebagai pembuka keseharian seorang muslim, dan hal ini setidaknya mengandung dua perkara :

Adanya penetapan tujuan di awal hari. Bukankah diantara sebab kesuksesan -sebagaimana yang dikatakan berbagai motivator dan trainer- ialah seorang hendaknya menentukan tujuan kerjanya dengan jelas? Sehingga tergambar jelas di benaknya, apa tujuan yang harus ia capai pada hari itu, dan memotivasi agar tercapainya tujuan tersebut.Menghadap kepada Allah Ta’aladalam rangka memohon pertolongan dan tercapainya tujuan, dengan cara berdoa di awal hari.

Ilmu, Sarana Utama Meraih Rizki dan Amal

Disebutkannya ilmu yang bermanfaat di awal doa, ialah dalil yang jelas bahwa ilmu didahulukan sebelum amal. Allah Ta’alaberfirman (yang artinya), “Maka ilmuilah, bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, dan mohonlah ampunan atas dosamu” (QS Muhammad : 19)

Dalam ayat ini terkandung faidah bahwa ilmu didahulukan sebelum beramal, yaitu amalan memohon ampunan. Apabila kita kembali pada teks doa, maka akan kita dapati bahwa penyebutan ilmu didahulukan sebelum penyebutan rizki dan amal. Inilah dalil bahwasanya baiknya amal dan rizki dibangun berlandaskan ilmu. Ilmulah yang akan membedakan mana rizki yang halal dan mana yang haram, begitu pula mana amal yang diterima dan mana amal yang tertolak. Apabila ilmu ini tidak ada pada diri seseorang, niscaya akan bercampur rizkinya antara yang halal dan haram, dan amal yang diterima dan tertolak. Ia tidak akan mampu membedakan keduanya, kecuali dengan ilmu.

Ilmu harus menjadi perhatian utama seorang muslim, sebelum mencari rizki dan beramal. Sebagaimana kata ‘Umar ibn Abdul Aziz rahimahullah, “Barangsiapa beribadah kepada Allah tanpa ilmu, kerusakan yang ditimbulkannya akan lebih besar dari kebaikan yang ia hasilkan”.

Saudaraku, Datangilah Majelis Ilmu

Ulama berkata, doa haruslah diiringi dengan tindakan nyata. Oleh karena itu, doa memohon ilmu yang bermanfaat, “Allāhumma innii as-aluka ‘ilman naafi’an”, harus diiringi dengan upaya menuntut ilmu, yaitu berangkat menuju majelis ilmu, menelaah kitab, membahas masalah agama, dan segala perantara untuk mendapatkan ilmu. Bukanlah termasuk upaya mengambil sebab untuk mendapatkan ilmu, seseorang yang berdoa di tiap shalat shubuh memohon agar diberi ilmu yang bermanfaat namun setelah itu ia tidur hingga siang tanpa melakukan apa-apa. Hal ini tidak seharusnya dilakukan oleh orang yang berdoa dengan doa ini.

Tambah Selalu Ilmumu!

Merupakan konsekuensi bagi seorang yang berdoa dengan doa ini pada setiap harinya ketika shubuh, ialah hendaknya ia tidak melewatkan hari-harinya kecuali bertambah ilmunya, bertambah penelaahannya atas suatu masalah, hukum syariat, intensitasnya menghadiri kajian, membaca buku-buku yang bermanfaat, dan aktifitas lainnya dalam menuntut ilmu. Adapun satu hari yang ia luput darinya faidah dalam agamanya, maka itu musibah!

Dua Jenis Ilmu

Doa “Allāhumma innii as-aluka ‘ilman naafi’an” di dalamnya terkandung pelajaran bahwa ilmu terbagi menjadi dua jenis :

Ilmu yang menimbulkan kerusakan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu sesuatu yang dapat memisahkan antara seorang (suami) dengan istrinya (yaitu ilmu sihir –pen)” (QS Al Baqarah : 102). Dan betapa banyak ilmu seperti ini di zaman kita!Ilmu yang bermanfaat bagi manusia. Ilmu inilah yang dimaksud dalam doa diatas. Dalam sebagian doa, Nabi shallallahu alaihi wa sallamjuga berlindung dari ilmu yang tidak bermanfaat.

Definisi ilmu yang bermanfaat ialah : ilmu yang dzatnya itu sendiri memang bermanfaat, dan ilmu tersebut mampu memberi manfaat bagi siapa saja yang menelaahnya dan mempelajarinya.  Terkadang, suatu ilmu itu dzatnya bermanfaat namun orang yang mempelajarinya tidak memperoleh manfaat dari ilmu tersebut. Ia mempelajarinya namun tidak mendapat tambahan kebaikan, petunjuk, ketaqwaan dan kedekatan pada Allah Ta’ala. Inilah yang juga termasuk dalam definisi ilmu yang tidak bermanfaat. Wal ‘iyadzubillah, kita berlindung dari yang demikian.

Ilmu yang bermanfaat kedua adalah ilmu yang secara dzatnya adalah ilmu yang mubah dan memiliki manfaat untuk manusia, seperti ilmu kedokteran, ilmu teknik, dan lainnya. Akan tetapi, dengan niat baik orang yang mempelajarinya, jadilah ilmu tersebut ilmu yang bermanfaat.

Mencari Rizki Haruslah yang Thayyib

Dalam doa ini terkandung anjuran bagi seorang muslim untuk mencari rizki setiap hari, tentunya dengan senantiasa menghadapkan diri bertawakkal pada AllahTa’ala. Dalam kalimat doa “wa rizqan thayyiban” terkandung makna bahwa rizki ada dua : thayyib (baik, halal) dan khabits(kotor, haram). Kita katakan bahwa segala jenis hal : makanan, minuman, pakaian, ada yang thayyib dan khabits.

Yang thayyib ialah yang secara dzatnya halal, bukan termasuk dalam hal-hal yang diharamkan oleh Allah, dan didapatkan melalui cara yang baik pula. Maka haruslah bagi setiap muslim untuk mampu membedakan mana yang baik mana yang buruk, hingga makanannya, minumannya, pakaiannya semuanya baik.

Terdapat hadits Nabi shallallahu  ‘alaihi wa sallam yang menceritakan seorang laki-laki melakukan perjalanan jauh, tubuhnya diliputi debu lagi kusut, ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berdoa, ‘Wahai Rabb–ku, wahai Rabb–ku’. Akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, dan pakaiannya juga berasal dari yang haram. Maka Nabi bersabda, “Bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?” (HR Muslim)

Oleh karena itu sebagian salaf berkata, “Baguskan makananmu (yaitu bersihkan dari hal yang haram) niscaya do’amu akan terkabul”. Maka dalam doa meminta rizki yang thayyib, terkandung pula makna agar seorang itu haruslah menjauh dari mata pencaharian yang haram berupa riba, judi, tipu menipu, jual beli yang haram, dan sebagainya.

Amalan yang Diterima

Amal shalih yaitu amal yang memenuhi dua syarat :

Ikhlas karena Allah Ta’alaMutaba’ah, sesuai dengan sunnah Nabi

Sesungguhnya Allah hanyalah menerima amal yang shalih sesuai dua syarat tersebut, ikhlas dan mencocoki sunnah. Fudhail ibn ‘Iyadh berkata mengenai firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang paling baik amalnya” (QS. Al Mulk : 2), beliau jelaskan yaitu “(Amal yang paling baik) ialah yang paling ikhlas dan paling benar”. Ada seorang yang bertanya, “Wahai Abu Ali, apa yang dimaksud paling ikhlas dan paling benar?”

Beliau jawab, “Sesungguhnya amal apabila dilakukan dengan ikhlas namun tidak benar (tidak sesuai sunnah), tidaklah diterima. Apabila benar namun tidak ikhlas juga tidak diterima, sampai amal tersebut ikhlas dan benar”. Ikhlas yaitu karena Allah semata, dan benar yaitu sesuai sunnah.

Inilah, para pembaca sekalian, doa yang sangat agung bagi seorang muslim. Barangsiapa yang masih belum tahu, atau tahu namun belum hafal, hendaknya ia meninjau kembali berbagai keutamaan dan kandungan doa ini dan ia berdoa dengannya di setiap setelah shalat shubuh dengan “Allāhumma innii as-aluka ‘ilman naafi’an, wa rizqan thayyiban, wa ‘amalan mutaqabbalan”. Semoga Allah mudahkan untuk mengamalkannya. Wa billahit taufiq.

(Disadur secara bebas dari muhadharah Syaikh Prof. Dr. ‘Abdurrazzaq ibn ‘Abdil Muhsin Al Abbad Al Badr hafizhahullahudalam http://al-badr.net/dl/doc/FgQwzICDPd)

Penulis                 : Yhouga Ariesta, S.T. (Alumni Ma’had Al ‘Ilmi Yogyakarta)

Muroja’ah           : Ustadz Abu Salman, B.I.S

Kamis, 11 Juni 2015

Buku AKU CINTA ISLAM - EDISI : AHLAK MULIA

Buku "AKU CINTA ISLAM -  AHLAK MULIA", memberikan pemahaman kepada anak mengenai
- Sabar
- Jujur
- Takwa
- Istiqomah
- Qana'ah
- Malu
- Tawadh'u
- Amannah
- Dermawan

Harga @ 70.000
PENERBIT : PERISAI QURAN KIDS

Sudah bisa diorder untuk  Buku Islam anak-anak, order via SMS atau WA.  081293951921, BB pin 57116CB7.
Pengiriman setiap hari kerja dari jam 7.00-10.00 WIB.
Terima Kasih

TOKO BUKU ALBANA
Team Marketing

Buku SERIAL ULAMA AHLUSSUNNAH

Buku Paket " SERIAL ULAMA AHLUSSUNNAH " terdiri dari 10 Buku, memberikan pengetahuan kepada anak mengenai para ulama ahlussunah adalah sangat penting mengingat para ulama adalah pewaris para nabi, merekalah yang melanjutkan perjuangan para nabi dalam menyebarkan ilmu dan wahyu yang telah Allah turunkan, menyelamatkan seluruh umat manusia dari lembah kesesatan menuju cahaya dan rahmat Allah.

Harga Paket Buku SERIAL ULAMA AHLUSUNNAH @ 245.000 (Mohon maaf untuk paket ini tidak bisa dijual perbuku).
Terdiri dari 10 Buku al.
- IMAM ABU HANAFI
- IMAM MALIK
- IMAM ASY-SYAFI'I
- IMAM AHMAD
- IMAM BUKHARI
- IMAM MUSLIM
- IMAM TIRMIDZI
- IMAM ABU DAWUD
- IMAM IBNU MAJAH
- IMAM AN-NASA'I
PENERBIT PERISAI QURAN KIDS

Sudah bisa diorder untuk  Buku Islam anak-anak, order via SMS atau WA.  081293951921, BB pin 57116CB7.
Pengiriman setiap hari kerja dari jam 7.00-10.00 WIB.
Terima Kasih

TOKO BUKU ALBANA
Team Marketing

Buku serial ibadah

Buku Paket " SERIAL IBADAH " terdiri dari 6 judul buku al. Juz Amma, Doa-doa Pilihan, Ayo Belajar Bersuci, Ayo Belajar Sholat, Ayo Sholat Berjamaah, Dzikir-dzikir, Ayo Puasa, Ayo Kita Zakat, Ayo Belajar Haji.
Buku ini memberi pengetahuan kepada anak-anak menganai tata cara beribadah yang sudah diatur Allah melalui Rosulullah, dilengkapi dengan doa-doa, dzikir setelah sholat, apa itu puasa yang saat ini sangat tepat ,mengingat sebentar lagi bulan romadhon. Semoga anak-anak kita kelak bisa menjalankan ibadahnya dengan baik dan benar sesuai yang diajarkan Rosulullah.

Harga Paket Buku SERIAL IBADAH @ 234.000 (Apabila ingin membeli satu paket)
Harga perbuku :
- JUZ AMMA @ 50.000
- DOA-DOA PILIHAN @ 25.000
- AYO BELAJAR BERSUCI @ 25.000
- AYO BELAJAR SHOLAT @ 25.000
- AYO SHOLAT BERJAMAAH @ 17.000
- AYO BERPUASA @ 25.000
- AYO KITA ZAKAT @ 25.000
- AYO BELAJAR HAJI @ 25.000
PENERBIT PERISAI QURAN KIDS

Sudah bisa diorder untuk  Buku Islam anak-anak, order via SMS atau WA.  081293951921, BB pin 57116CB7.
Pengiriman setiap hari kerja dari jam 7.00-10.00 WIB.
Terima Kasih

TOKO BUKU ALBANA
Team Marketing

Senin, 01 Juni 2015

Darimana kalian megambil agama kalian

Memilih-Milih Guru/Ustadz dalam Menuntut Ilmu ?
Diposkan oleh Abu Al-Jauzaa' : di 07.26
Label: Manhaj
Tanya : Ada sebagian orang yang yang mengatakan bahwa kita tidak boleh memilih-milih guru atau ustadz dalam menuntut ilmu agama karena (katanya) jika kita punya sikap memilih-milih menunjukkan bahwa kita termasuk orang yang sombong. Namun sebagian lain mengatakan bahwa kita tidak boleh sembarangan memilih guru/ustadz dalam hal itu. Bagaimana sebenarnya kedudukan permasalahan ini ?

Jawab : Ilmu agama (ilmu syar’i) adalah adalah sarana dalam memperoleh keselamatan dan kemenangan dunia - akhirat. Allah ta’ala telah berfirman :

هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا

”Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi.” [QS. Al-Fath : 28].

وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka" [QS. Al-Baqarah : 201].

Mengenai ayat di atas, Al-Hasan (w. 110 H) berkata : ”Yang dimaksud dengan kebaikan dunia adalah ilmu dan ibadah”. Beliau menambahkan : ”Dan kebaikan akhirat – maksudnya adalah surga” [Jaami’ Bayaanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr, hal. 36, Maktabah Al-Misykah].

Disebabkan ilmu agama adalah ilmu yang sangat mulia, maka ia tidaklah boleh dituntut kecuali dari orang-orang yang ikhlash, terpercaya, lagi mempunyai pemahaman yang lurus. Allah telah memberikan contoh yang sangat baik kepada kita akan hal tersebut, yaitu ketika Dia mengisahkan pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir ’alaihimas-salaam :

فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا * قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا

Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" [QS. Al-Kahfi : 65-66]

Di sini Allah telah memerintahkan Nabi Musa untuk menemui Nabi Khidir yang mempunyai keutamaan besar di sisi Allah. [1]

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

يحمل هذا العلم من كل خلف عدوله ينفون عنه تحريف الغالين وتأويل الجاهلين وانتحال المبطلين قال فسبيل العلم ان يحمل عمن هذه سبيله ووصفه

”Ilmu (agama) ini akan dibawa oleh orang-orang terpercaya dari setiap generasi. Mereka akan meluruskan penyimpangan orang-orang yang melampaui batas, ta’wil orang-orang jahil, dan pemalsuan orang-orang bathil. Ilmu ini hanya layak disandang oleh orang-orang yang memiliki karakter dan sifat seperti itu” [lihat Al-Jaami’ li-Akhlaqir-Raawi wa Adabis-Saami’ oleh Al-Khathib Al-Baghdadi 1/129 – shahih].

Oleh karena itu, para ulama telah memberikan peringatan bahwa ilmu agama ini tidaklah dituntut secara sembarangan kepada setiap orang tanpa ”seleksi”. Hal ini tercermin dalam pesan beliau shallallaahu ’alaihi wasallam kepada Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :

يا بن عمر دينك دينك انما هو لحمك ودمك فانظر عمن تأخذ خذ عن الذين استقاموا ولا تأخذ عن الذين مالوا

”Wahai Ibnu ’Umar, agamamu ! agamamu ! Ia adalah darah dan dagingmu. Maka perhatikanlah dari siapa kamu mengambilnya. Ambillah dari orang-orang yang istiqamah (terhadap sunnah), dan jangan ambil dari orang-orang yang melenceng (dari sunnah)” [Al-Kifaayah fii ’Ilmir-Riwayah oleh Al-Khathib hal. 81, Bab Maa Jaa-a fil-Akhdzi ’an Ahlil-Bida’ wal-Ahwaa’ wa Ihtijaaj bi-Riwayaatihim, Maktabah Sahab].

’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu ketika berada di masjid Kuffah (’Iraq) pada suatu hari pernah berkata :

انظروا عمن تأخذون هذا العلم فإنما هو الدين

”Lihatlah dari siapa kalian mengambil ilmu ini, karena ia adalah dien/agama” [idem].

Muhammad bin Sirin (seorang pembesar ulama tabi’in) berkata :

إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم

”Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapakah kalian mengambil agama kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim dalam muqaddimah kitab Shahih-nya 1/7 Maktabah Sahab].

Dari perkataan di atas kita dapatkan petunjuk dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam serta para shahabat dan tabi’in (serta ulama lain setelah mereka) agar kita mengambil ilmu dari orang yang alim, ’adil (terpercaya dalam agamanya) dan istiqamah, serta melarang mengambil ilmu dari orang-orang jahil dan fasiq. Al-Imam Malik bin Anas menambahkan : ”Ilmu tidaklah diambil dari empat orang :

من سفيه معلن بالسفه وإن كان أروى الناس ولا تأخذ من كذاب يكذب في أحاديث الناس إذا جرب ذلك عليه وإن كان لا يتهم ان يكذب على رسول الله صلى الله عليه وسلم ولا من صاحب هوى يدعو الناس الى هواه ولا من شيخ له فضل وعبادة إذا كان لا يعرف ما يحدث

”(1) Orang yang bodoh yang menampakkan kebodohannya meskipun ia banyak meriwayatkan dari manusia; (2) Pendusta yang ia berdusta saat berbicara kepada manusia, meskipun ia tidak dituduh berdusta atas nama Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam (dalam hadits); (3) Orang yang menurutkan hawa nafsunya dan mendakwahkannya; dan (4) Orang yang mempunyai keutamaan dan ahli ibadah, namun ia tidak tahu apa yang dikatakannya (yaitu tidak faqih)” [Al-Kifaayah 1/77-78].

Tuntutan untuk memilih orang yang akan diambil ilmunya adalah merupakan kenyataan dan keniscayaan dalam merealisasikan kemaslahatan agama kita. Secara akal sehat, tentu kita tidak bisa menerima perkataan orang-orang yang telah divonis para ulama sebagai orang yang fasiq, sesat, dan menyimpang (seperti beberapa kelompok kontemporer belakangan). Akan tetapi, di jaman sekarang sungguh sangat sulit bagi sebagian orang untuk menilai siapa orang yang berada di atas sunnah dan siapa yang tidak berada di atas sunnah. Selain kebodohan yang telah merajalela, banyak orang (yang sebenarnya) jahil namun berhias dengan pakaian dan perkataan ulama (berlagak seperti orang berilmu). Nampaklah ia di mata masyarakat dan teranggaplah ia sebagai ”ulama”. Tidaklah aneh jika kemudian muncul para da’i ”dadakan” yang bukan merupakan lulusan majelis-majelis ilmu. Tidak lebih, mereka hanyalah lulusan majelis gelak tawa dan hiburan (entertainment). Menjamurlah para komedian dan penyanyi (artis) yang telah ”beralih profesi” menjadi da’i. Masyarakat awam pun menjadi tertipu atas ulah mereka. Dan inilah fitnah dan bencana besar yang melanda umat. Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu berkata :

لا يزال الناس بخير ما أخذوا العلم عن أكابرهم فإذا أخذوه من أصاغرهم وشرارهم هلكوا

”Senantiasa umat manusia dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari para akaaabir (yaitu ahli ilmu/ulama) mereka,. Jika mereka mengambil ilmu dari ashaaghir (orang-orang bodoh dan pelaku bid’ah) dan orang-orang jelek di antara mereka, niscara mereka akan binasa” [Jaami’ Baayanil-’Ilmi wa Fadhlihi oleh Ibnu ’Abdil-Barr Al-Andalusy hal. 112; Maktabah Al-Misykah].

Bila kita baca di kitab-kitab para ulama terdahulu, niscaya kita akan melihat betapa mereka sangat hati-hati dalam mengambil ilmu atau hadits dari seseorang. Misalnya, sebagian di antara mereka ada yang menilai dari parameter dhahir shalatnya. Jika shalatnya bagus (baik dalam kaifiyatnya maupun semangat penegakkannya), maka ia akan ambil ilmunya. Namun jika jelek, ia tinggalkan.

Di jaman sekarang, sungguh lebih jelek keadaannya dibanding apa yang dialami ulama kita terdahulu. Ada sebagian yang dianggap tokoh (ustadz) oleh masyarakat, namun melazimkan masbuk dalam shalat berjama’ah di masjid. Atau bahkan tidak melazimkan shalat berjama’ah di masjid sama sekali. [2] Sebagian lagi dari mereka ada yang mencukur habis jenggotnya hanya dengan alasan penampilan dan ”kerapian”. Jika ada yang mengingatkannya, maka dijawab dengan enteng bahwa hal itu hanya merupakan khilaf furu’iyyah semata (?!) [3]. Ada lagi yang lain yang membiarkan istrinya tidak memakai jilbab syar’i.[4] Semangat dalam melakukan perbaikan terhadap masyarakat, namun lemah lagi lalai terhadap diri dan keluarganya yang notabene menjadi tanggung jawab terbesar baginya di hadapan Allah kelak di hari akhirat. Ini suatu musibah. Jikalau para ulama kita terdahulu mendapati model ulama, ustadz, atau pengajar macam ini, entah apa yang akan mereka katakan.................

Kita tidak mengatakan bahwa seorang ulama, ustadz, atau pengajar itu harus ma’shum terbebas dari segala macam kesalahan sehingga dapat diambil ilmunya. Benarnya prinsip-prinsip aqidah dan manhaj adalah satu hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Selain itu, kita juga menilai seberapa besar kecintaan orang tersebut dalam menghidupkan sunnah/syari’at yang bersifat dhuhur (nampak) dalam kehidupan sehari-harinya.[5]

Fenomena kebalikan dari hal di atas adalah bahwa ada sebagian orang yang meninggalkan seorang ulama, ustadz, atau pengajar tertentu yang dikenal berilmu (kompeten), istiqamah, taqwa, dan semangat menjalankan sunnah-sunnah dalam Islam (baik bagi diri, keluarga, dan masyarakat) hanya karena alasan ketidaksenangannya semata. Tidak lain – menurut anggapannya – ulama/ustadz/pengajar tersebut dianggap bertentangan dengan kebiasaan, tradisi, atau nidham-nidham (aturan/kebijakan) kelompok/organisasi yang ia ikuti. Ini adalah tidak benar. Sikap ini merupakan buah dari sikap ta'ashub (fanatik) terhadap madzhab, kelompok, atau tokoh-tokoh tertentu. Ia mengambil al-walaa' wal-baraa' tidak berdasar atas nama Islam.

Kesimpulan : Memilih guru atau ustadz dalam mengajarkan ilmu agama itu perlu (dan bahkan harus) jika dilandasi oleh alasan-alasan syar’i, bukan hawa nafsu. Hal itu bukanlah satu kesombongan yang dilarang dalam agama. Namun jika ia memilih-milih ustadz atau pengajar hanya karena alasan suka dan tidak suka (like and dislike) – padahal ia adalah seorang yang jahil yang butuh ilmu dari si ustadz/pengajar bersangkutan –, maka perbuatan ini merupakan sikap kesombongan yang menghancurkan. Ini adalah sikap pertengahan dari hal yang Saudara tanyakan. Wallaahu a’lam.

Abul-Jauzaa' 1429

====================

Catatan kaki :

[1] Kita tidak mengatakan bahwa Nabi Khidir lebih utama secara mutlak daripada Nabi Musal ‘alaihimas-salaam. Bahkan Nabi Musa lebih utama daripada Nabi Khidir sebagaimana dijelaskan para ulama. Masing-masing mempunyai keutamaan yang tidak dipunyai yang lainnya.

[2] Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda (yang artinya) : ”Demi (Allah) yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku telah bermaksud memerintah (manusia untuk) mendatangkan kayu bakar untuk dikumpulkan, dan memerintahkan shalat sehingga ia dikumandangkanlah adzan yang kemudian aku perintahkan seseorang agar mengimaminya. Aku akan pergi menuju kaum laki-laki (yang shalat di rumah) sehingga aku membakar rumah-rumah mereka” [HR. Bukhari dan Muslim].

[3] Padahal, keharaman mencukur habis jenggot merupakan kesepakatan para ulama mu’tabar empat madzhab. Ibnu Hazm bahkan memasukkannya dalam daftar ijma’ dalam kitabnya Maraatibul-Ijma’ (hal. 157) dimana beliau berkata : { واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز } ”Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mencukur habis jenggot adalah tidak boleh (haram)”. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Sesungguhnya orang musyrik itu membiarkan kumis mereka lebat. Maka selisihilah mereka ! Peliharalah jenggot dan potonglah kumis kalian” [HR. Al-Bazzar no. 8123; hasan]. Artikel terkait, silakan baca : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-jenggot-dalam-syariat-islam.html

[4] Allah ta’ala berfirman : {يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لأزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ} "Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". [QS. Al-Ahzaab : 59].

[5] Kita tidak menilai pada sesuatu hal yang sifatnya tersebunyi karena haram hukumnya tajassus (mencari-cari sesuatu yang sifatnya tersembunyi) dari kesalahan manusia.

Kamis, 28 Mei 2015

Didiklah Anakmu

DIDIKLAH ANAKMU

Ust. Rochmad Supriyadi, Lc حفظه الله تعالى

Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu :

Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman:

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا}

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (At-Tahrim: 6)

Seorang ibu, ayah, serta pengajar, akan ditanya di hadapan Allah tentang pendidikan generasi ini. Apabila mereka baik dalam mendidik, maka generasi ini akan bahagia dan begitu pula mereka juga akan bahagia di dunia dan akhirat. Namun, apabila mereka mengabaikan pendidikan generasi ini, maka generasi ini akan celaka, dan dosanya akan ditanggung oleh pundak-pundak mereka. Oleh karena itu dikatakan dalam sebuah hadits,

كُلُّكُمْ رَاعٍ وَ كُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Setiap kalian adalah pemimpin dan pemimpin akan ditanyai tentang kepemimpinannya” (Muttafaqun ‘alaihi).

Berita gembira bagimu wahai para pengajar, dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam,

فَوَاللهِ لَيَهْدِيَ اللهُ بِكَ رَجُلاً وَحِدًا خَيْرٌ لَكَ مِنْ خُمْرِ النَّعَمَ

“Demi Allah, jika Allah menunjuki seseorang lewatmu, ini lebih baik daripada unta-unta merah”

Berita gembira bagi kalian berdua wahai ayah dan ibu, dengan sebuah hadits yang shahih:

اِذَ مَاتَ اْلإِنْسَانُ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ

“Apabila seorang manusia meninggal, maka amalannya terputus kecuali tiga perkara. Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat serta anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim).

Wahai para pengajar, hendaknya engkau memperbaiki dirimu terlebih dahulu.

Kebaikan menurut anak-anak adalah apa-apa yang engkau lakukan. Sebaliknya, keburukan menurut mereka adalah apa-apa yang engkau tinggalkan.

Baiknya perilaku pengajar dan kedua orang tua di hadapan anak-anak merupakan sebaik–baiknya pendidikan bagi mereka.

Rabu, 27 Mei 2015

Wanita lebih banyak menjadi penghuni neraka

Kenapa jumlah wanita di neraka lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki?

Telah ada pernyataan dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bahwa para wanita itu lebih banyak sebagai penghuni neraka.

“Dari Imran bin Husain radhiallahu anhu dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

اطَّلَعْتُ فِي الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ وَاطَّلَعْتُ فِي النَّارِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاء (رواه البخاري 3241 ومسلم 2737)

“Aku diperlihatkan di surga. Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum fakir. Lalu aku diperlihatkan neraka. Aku melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita.” (HR. Bukhari, 3241 dan Muslim, 2737)

Adapun sebabnya, Nabi sallallahu’alaihi wa sallam ditanya tentang hal itu, lalu beliau menjelaskan dalam riwayat Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhuma, dia berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

  َأُرِيتُ النَّارَ فَلَمْ أَرَ مَنْظَرًا كَالْيَوْمِ قَطُّ أَفْظَعَ وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ ،  قَالُوا :  بِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ :  بِكُفْرِهِنَّ ،  قِيلَ : يَكْفُرْنَ بِاللَّهِ ، قَالَ :  يَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ كُلَّهُ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا قَالَتْ مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ  (رواه البخاري، رقم 1052) .

“Saya diperlihatkan neraka. Saya tidak pernah melihat pemandangan seperti hari ini yang sangat mengerikan. Dan saya melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita. Mereka bertanya, ‘Kenapa wahai Rasulallah? Beliau bersabda, ‘Dikarenakan kekufurannya.' Lalu ada yang berkatak, 'Apakah kufur kepada Allah?' Beliau menjawab, ‘Kufur terhadap pasangannya, maksudnya adalah mengingkari kebaikannya. Jika anda berbuat baik kepada salah seorang wanita sepanjang tahun, kemudian dia melihat anda (sedikit ) kejelekan. Maka dia akan mengatakan, ‘Saya tidak melihat kebaikan sedikitpun dari anda.” (HR. Bukhari, no. 1052)

Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu, dia berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam keluar waktu Ied Adha atau Ied Fitri dan melewati para wanita dan bersabda: “Wahai para wanita, keluarkanlah shadaqah karena saya diperlihatkan bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah dari kalangan kalian. Mereka berkata, ‘Kenapa wahai Rasulullah? Beliau bersabda: “Kalian sering mengumpat, dan mengingkari pasangan. Saya tidak melihat (orang) yang kurang akal dan agama dari kalangan anda semua dibandingkan seorang laki-laki yang cerdas.' Mereka bertanya, ‘Apa kekurangan agama dan akal kami wahai Rasulullah?'  Beliau menjawab, ‘Bukankah persaksian (syahadah) seorang wanita itu separuh dari persaksian orang laki-laki.' Mereka menjawab: ‘Ya.' Beliau melanjutkan: ‘Itu adalah kekurangan akalnya. Bukankah kalau wanita itu haid tidak shalat dan tidak berpuasa.' Mereka menjawab, ‘Ya.' Beliau mengatakan, ‘Itu adalah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari, no. 304)

Dan dari Jabir bin Abdullah radhialalhu’anhuma berkata, Saya menyaksikan shalat Ied bersama Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat sebelum khutbah tanpa azan dan iqamah. Kemudian berdiri bersandar kepada Bilal, dan memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah dan menganjurkan kepada ketaatan kepadaNya  dan menasehati manusia serta mengingatkannya. Kemudian beliau berjalan mendatangi para wanita, dan memberikan nasehat kepada mereka dan mengingatkannya. Beliau bersabda: ‘Besadaqahlah para wanita, karena kebanyakan dari kalian itu menjadi bara api neraka Jahanam.' Maka ada wanita bangsawan dan kedua pipinya berwarna (merah) berdiri bertanya, ‘Kenapa wahai Rasulullah?' Beliau menjawab, ‘Karena kamu semua seringkali mengadu dan mengkufuri suami.' Berkata (Jabir), ‘Maka para wanita memulai bersodaqah dan melemparkan gelang, giwang dan cincinnya ke pakaian Bilal." (HR. Muslim, no. 885)

Seyogyanya bagi para wanita mukmin yang mengetahui hadits ini berbuat seperti perbuatan mereka para wanita shahabat. Ketika mengetahui hal ini, mereka  langsung melakukan kebaikan, dimana hal itu dengan izin Alah sebagai sebab yang dapat menjauhkan mereka masuk ke dalam kelompok yang terbanyak (masuk neraka). Maka nasehat kami kepada para wanita muslimah, agar menjaga komitmen dengan syiar Islam dan kewajibannya. Terutama shalat serta menjauhi apa yang diharamkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala terutama syirik dengan segala macam bentuknya yang berbeda-beda yang tersebar ditengah-tengah para wanita seperti memohon keperluan kepada selain Allah dan mendatangi sihir, tukang ramal dan semisal itu.

Kami memohon kepada Allah agar menjauhkan kita dan saudara-saudara kami dari api neraka dan yang mendekatkan ke sana baik berupa ucapan maupun perbuatan.

7 Kiat Bangun Subuh

7 Kiat Bangun Shubuh

Bangun shubuh teramat berat bagi sebagian orang. Adakah kiat-kiat untuk bangun Shubuh?

Ada beberapa kiat yang bisa membantu kaum muslimin untuk mudah bangun Shubuh:

1- Takwa dan perhatian dengan waktu shalat.
Orang yang bertakwa tentu akan dimudahkan urusannya termasuk dalam melaksanakan shalat Shubuh. Begitu pula jika seseorang perhatian dengan waktu Shalat, maka itu akan jadi kebiasaan dia. Layaknya anak kecil yang dijanjikan untuk pergi tamasya, tentu saja ia akan bangun sebelum waktu yang ditetapkan meskipun tidak ada yang akan membangunkannya.

2- Tidur di awal malam dan tinggalkan begadang
Ada yang mengetahui dengan detail batas waktu kapan ia harus tidur agar dapat bangun Shubuh. Jika melampaui batas waktu tersebut, ia pasti akan ketinggalan shalat, maka dalam kondisi ini ia tidak boleh begadang hingga melewati batas waktu yang dapat menyebabkanya jatuh ke dalam kelalaian dalam menunaikan kewajiban ini.
Perlu diketahui bahwa begadang tanpa ada kepentingan dibenci oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Bukhari no. 568)
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!” (Syarh Al Bukhari, 3: 278).

3- Menggunakan alat-alat pengingat seperti pada jam tangan atau pada handphone.

4- Membiasakan tidur dan bangun di waktu yang sama setiap hari.
Agar terbiasa bangun Shubuh, maka harus dipaksakan di awal dan terus dibiasakan setelah itu. Karena jika sudah ada ritme tidur dan bangun, pasti akan mudah bangun Shubuh meski tidak menggunakan weaker atau alarm.

5- Tidur di alas yang memudahkan proses bangun.
Terkadang seseorang terpaksa harus bergadang karena suatu tuntutan, hingga ia merasa tidak akan dapat bangun pada waktu shalat, maka solusinya adalah dengan merubah alas tidur, misalnya tidur di atas lantai tanpa alas, atau tanpa bantal di luar kamar tidurnya, dan begitu seterusnya selalu melakukan perubahan-perubahan yang dapat mengusir tidur yang nyenyak dan dapat meringankan proses bangun.

6- Menjaga adab Islami sebelum tidur.

a- Tidurlah dalam keadaan berwudhu.
Hal ini berdasarkan hadits Al Baro’ bin ‘Azib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الأَيْمَنِ

“Jika kamu mendatangi tempat tidurmu maka wudhulah seperti wudhu untuk shalat, lalu berbaringlah pada sisi kanan badanmu” (HR. Bukhari no. 247 dan Muslim no. 2710)

b- Tidur berbaring pada sisi kanan.
Hal ini berdasarkan hadits di atas. Adapun manfaatnya sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim, “Tidur berbaring pada sisi kanan dianjurkan dalam Islam agar seseorang tidak kesusahan untuk bangun shalat malam. Tidur pada sisi kanan lebih bermanfaat pada jantung. Sedangkan tidur pada sisi kiri berguna bagi badan (namun membuat seseorang semakin malas)” (Zaadul Ma’ad, 1: 321-322).

c- Meniup kedua telapak tangan sambil membaca surat Al Ikhlash (qul huwallahu ahad), surat Al Falaq (qul a’udzu bi robbil falaq), dan surat An Naas (qul a’udzu bi robbinnaas), masing-masing sekali. Setelah itu mengusap kedua tangan tersebut ke wajah dan bagian tubuh yang dapat dijangkau. Hal ini dilakukan sebanyak tiga kali. Inilah yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana dikatakan oleh istrinya ‘Aisyah.
Dari ‘Aisyah, beliau radhiyallahu ‘anha berkata,

كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا ( قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ) وَ ( قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ) وَ ( قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ) ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ

“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika berada di tempat tidur di setiap malam, beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya lalu kedua telapak tangan tersebut ditiup dan dibacakan ’Qul huwallahu ahad’ (surat Al Ikhlash), ’Qul a’udzu birobbil falaq’ (surat Al Falaq) dan ’Qul a’udzu birobbin naas’ (surat An Naas). Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangan tadi pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Beliau melakukan yang demikian sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari no. 5017). Membaca Al Qur’an sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini lebih bermanfaat bagi hati daripada mendengarkan alunan musik klasik sebelum tidur.

d- Membaca ayat kursi sebelum tidur.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

وَكَّلَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ ، فَأَتَانِى آتٍ ، فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ ، فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – . فَذَكَرَ الْحَدِيثَ فَقَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ ، وَلاَ يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « صَدَقَكَ وَهْوَ كَذُوبٌ ، ذَاكَ شَيْطَانٌ »

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menugaskan aku menjaga harta zakat Ramadhan kemudian ada orang yang datang mencuri makanan namun aku merebutnya kembali, lalu aku katakan, “Aku pasti akan mengadukan kamu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam“. Lalu Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan suatu hadits berkenaan masalah ini. Selanjutnya orang yang datang kepadanya tadi berkata, “Jika kamu hendak berbaring di atas tempat tidurmu, bacalah ayat Al Kursi karena dengannya kamu selalu dijaga oleh Allah Ta’ala dan syetan tidak akan dapat mendekatimu sampai pagi”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Benar apa yang dikatakannya padahal dia itu pendusta. Dia itu setan”. (HR. Bukhari no. 3275)
e- Membaca do’a sebelum tidur “Bismika allahumma amuutu wa ahyaa”.
Dari Hudzaifah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا أَرَادَ أَنْ يَنَامَ قَالَ « بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ أَمُوتُ وَأَحْيَا » . وَإِذَا اسْتَيْقَظَ مِنْ مَنَامِهِ قَالَ « الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا ، وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur, beliau mengucapkan: ‘Bismika allahumma amuutu wa ahya (Dengan nama-Mu, Ya Allah aku mati dan aku hidup).’ Dan apabila bangun tidur, beliau mengucapkan: “Alhamdulillahilladzii ahyaana ba’da maa amatana wailaihi nusyur (Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya lah tempat kembali).” (HR. Bukhari no. 6324)
Masih ada beberapa dzikir sebelum tidur lainnya yang tidak kami sebutkan dalam tulisan kali ini. Silakan menelaahnya di buku kami sebelumnya Dzikir Pagi Petang yang di dalamnya disertai dengan dzikir sebelum tidur.

7- Meminta tolong pada Allah agar diberi kemudahan untuk bangun Shubuh.
Segalanya menjadi mudah dengan pertolongan Allah termasuk ketika seseorang bertekad kuat untuk bangun Shubuh. Dan tidak mungkin Allah membiarkan do’a kita begitu saja. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِىٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِى مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا

“Sesunguhnya Rabb kalian tabaroka wa ta’ala Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya , lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa.” (HR. Abu Daud no. 1488 dan Tirmidzi no. 3556. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hanya Allah yang memberi taufik untuk mudah bangun Shubuh.

Memahami kandungan hadist

Demikian  juga dengan  hadits. Sebelum mengamalkan hadits-hadits Rasulullah, seorang  muslim harus  memahami terlebih  dahulu kandungannya.  Hal ini  dilakukan agar  pemahamannya  benar  dan  pengamalannya  terarah.  Langkah-langkah  yang dilakukan  untuk  memahami hadits adalah: 1. Memahami  Hadits  dengan  Tuntunan  Al-Qur’an.  Hadits  adalah  sumber  hukum kedua  setelah Al-Qur’an  dalam  syariat  Islam.  Hadits  menerangkan  dan  merinci apa  yang ada dalam Al-Qur’an. Tidak ada pertentangan  antara  Hadits dengan AlQur’an.  Jika  terdapat  pertentangan,  hal  itu  mungkin  terjadi karena  haditsnya tidak  shahih  atau  kita  sendiri  yang  tidak  bisa  memahaminya. 2. Mengumpulkan  Hadits-Hadits  yang  Satu  Tema  dan  Pembahasan  pada  Satu Tempat.  Merupakan  suatu  keharusan  untuk  memahami  hadits  dengan pemahaman  yang  benar,  yaitu  mengumpulkan  hadits-hadits  shahih  yang  satu pembahasan supaya  hadits yang  mutasyabih (yang  memiliki banyak  penafsiran) bisa  dikembalikan ke  yang muhkam (maknanya jelas),   dan yang ‘amm (maknanya umum) ditafsirkan  oleh  yang  khashsh (maknanya  khusus). Dengan  cara ini,  akan jelas  maksud  hadits  tersebut,  maka  jangan  mempertentangkan  antara  hadits yang  satu  dengan yang  lainnya. 3. Mengkompromikan Hadits-Hadits  yang Tampak  Bertentangan. Pada  dasarnya  tidak  ada  pertentangan  antara  nash-nash Al-Qur’an  dan  Hadits yang  shahih.  Seandainya  terjadi  suatu  pertentangan,  maka  itu  anggapan  kita semata,  bukan hakikat  dari nash-nash  tersebut. Inilah keyakinan seorang  mukmin pada hadits-hadits  yang  dapat dipercaya  (hadits-hadits yang  shahih  atau  hasan). 4. Mengetahui  Nasikh  dan  Mansukh  Suatu  Hadits.  Nasikh  adalah  hadits  yang menghapus hadits  yang  Lain;  Mansukh  adalah  hadits yang  dihapus. Nasakh (hukum yang lama diganti hukum yang baru) dalam hadits memang terjadi. Seorang  muslim yang  mengamalkan suatu  hadits tanpa  mengetahui kalau hadits itu  mansukh,  berarti  dia  telah  terjatuh  ke  dalam ilmu  yang  tidak  diperintahkan syara’  untuk  mengamalkannya.  Sebab,  kita  tidak  diperintahkan  untuk mengamalkan hadits-hadits yang mansukh.  Sementara nasakh adalah  suatu ‘illat (penyebab)  dilarangnya  beramal  dengan  satu  hadits (yang  mansukh). 5. Mengetahui  Asbabul  Wurud  Hadits.  (Asbabul  Wurud    adalah  Sebab-sebab disabdakannya suatu  hadits). Untuk  memahami suatu  hadits dengan  pemahaman yang  benar dan  mendalam, tidak  boleh tidak, kita harus  mengetahui situasi  dan kondisi  yang  menyebabkan  hadits  itu  diucapkan  oleh  Nabi.  Biasanya,  hadits datang sebagai  penjelas terhadap  kejadian-kejadian tertentu  dan sebagai  terapi terhadap  situasi  dan  kondisi  kejadian  tersebut.  Dengan  begitu,  maksud  dari hadits  itu  dapat  ditentukan  dengan  jelas  dan  rinci.  Tujuannya  tidak  lain  agar hadits itu  tidak  menjadi  sasaran bagi  dangkalnya  perkiraan,  atau kita  mengikuti zhahir  (lahiriah  dari  hadits  tersebut)  yang  tidak  dimaksudkan  (oleh  maknanya). 6. Mengetahui  Gharibul  Hadits.  (Gharibul  Hadits  adalah  Kata-kata  yang  Sulit dipahami  pada teks hadits). Rasulullah  SAW adalah  orang yang  paling fasih  dalam mengucapkan  bahasa Arab  dan  beliau  berbicara  kepada  para  sahabat  dengan bahasa  Arab  yang  jelas  dan  dikenal  oleh  mereka.  Mereka  tidak  mengalami kesulitan  dalam memahami apa yang diinginkan  dari lafazh  yang diucapkan  oleh Rasulullah  SAW karena  mereka adalah orang Arab asli, yang  tidak pernah  dimasuki (dipengaruhi)  oleh  bahasa  orang  ‘Ajam  (orang  non-Arab).  Sehingga  dibutuhkan keterampilan  khusus dalam mendalami  kata-kata  yang  gharib dalam  hadits. 7. Merujuk  Kitab-Kitab  Syarah  Hadits.  Kitab-kitab  yang  berisi  penjelasan  dan keterangan  dari  matan  [teks]  Hadits.  Termasuk  menjadi  langkah  yang  penting dalam memahami hadits-hadits Nabi adalah  dengan merujuk kitab-kitab  syarah. Sebab,  di dalamnya  terdapat penjelasan tentang gharib,  nasikh-mansukh, fiqhul hadits,  dan  riwayat-riwayat  yang  tampaknya  bertentangan. Sehingga  seseorang yang  merujuk  kepada  kitab-kitab  syarah  hadits  akakn  sangat  terbantu  dalam memahami isi  kandungan suatu  hadits.

Langkah-langkah untuk memahami kandungan ayat-ayat Al Quran

Langkah-langkah untuk dapat memahami kandungan ayat-ayat Al-Qur’an adalah sebagai  berikut: 1. Memahami Ayat dengan Ayat.  Menafsirkan  satu  ayat Al-Qur’an  dengan  ayat AlQur’an yang lain, adalah jenis  penafsiran yang  paling tinggi.  Ungkapan yang sering dikemukakan  adalah Al-Qur’an yufassiru  ba’dhuhu ba’dha. Karena ada  sebagian ayat  Qur’an  itu  yang  menafsirkan  (yakni  menerangkan)  makna  ayat-ayat  yang lain. 2. Memahami Ayat Al-Qur’an  dengan  Hadits  Shahih.  Menafsirkan  ayat Al-Qur’an dengan  hadits  shahih  sangatlah  penting.  Allah  menurunkan Al-Qur’an  kepada Nabi  SAW tidak  lain  supaya  diterangkan  maksudnya  kepada semua  manusia. 3. Memahami Ayat dengan Pemahaman Sahabat. Merujuk kepada penafsiran  para sahabat terhadap  ayat-ayat Qur’an  seperti Ibnu Abbas dan  Ibnu Mas’ud  sangatlah penting  sekali  untuk  mengetahui  maksud  suatu  ayat.  Karena,  di  samping senantiasa  menyertai  Rasulullah,  mereka  juga belajar  langsung  dari  beliau. 4. Mengetahui Gramatika Bahasa Arab. Tidak diragukan lagi,  untuk  bisa  memahami dan menafsiri  ayat-ayat  Qur’an,  mengetahui  gramatika  bahasa Arab  sangatlah urgen.  Karena Al-Qur’an  diturunkan  dalam bahasa Arab. 5. Memahami Nash Al-Qur’an dengan Asbabun  Nuzul.  Mengetahui  sababun  nuzul (peristiwa  yang melatari turunnya ayat)  sangat membantu sekali dalam memahami Al-Qur’an  dengan  benar. 6. Memahami  Nash  Al-Qur’an  dengan  Makkiyyah-Madaniyyah.  Mengetahui pengelompokan  ayat  menjadi  Makkiyyah  atau  Madaniyyah,  sangat  membantu sekali  dalam memahami Al-Qur’an  dengan benar. 7. Merujuk  kepada  kitab-kitab  Tafsir  Al-Qur’an.  Dengan  merujuk  kepada  kitabkitab  tafsir  Al-Qur’an  yang  sangat  banyak,  baik  yang  berbahasa  Arab  ataupun Indonesia,  sangat  membantu  untuk  lebih  memahami  kandungan  ayat-ayat AlQur’an. Dengan  demikian  memahami Al-Qur’an  dengan  benar  tidak  akan  lepas  dari telaah  kaidah-kaidah yang  di  dalamnya, atau  sering  disebut dengan ‘Ulumul Qur’an, sehingga  diketahui bagaimana cara menafsirkan Al Qur’an yang baik. Di antara kaedahkaedah  tersebut  adalah  sebab-sebab  (asbabun  nuzul)  diturunkannya,  nasikh mansukh, perbedaan  tempat turunnya  ayat, serta  pengetahuan  tentang  ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat dan  masih banyak  lagi lainnya.  Dalam kitab-kitab  tafsir Al-Qura’n,  mufassir  dalam  menafsirkan  ayat-ayat Al-Qur’an  selalu  mempergunakan kaedah-kaedah  tersebut.

Selasa, 19 Mei 2015

Syahadat dan bai'at

Syahadat Dan Bai’at

(Penjelasan Singkat Bagi Mereka Yang Tersesat)

oleh : Saif Muhammad Al-Amrin

Pendahuluan

Segala Puji Bagi Allah Yang Telah memberikan kita 4 nikmat Besar, yaitu Nikmat Iman, Nikmat Islam, Nikmat Sehat dan Nikmat Akal. Shalwat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Tauladan kita sepanjang masa Nabi Besar Muhammad SAW, kepada para keluarganya, Shahabat-shahabat beliau, hingga kepada umatnya yang senantiasa mengikuti langkah pejuangan beliau hinnga hari akhir. Waba’du

Pembahasan masalah Syahadat dan Bai’at adalah pembahasan yang sangat lajim kita dengar. Syahadat berkaitan dengan keislaman kita sedangkan bai’at berkaitan dengan kepemimpinan kaum muslimin.

Marak ditengah-tengah kita beberapa kelompok yang menyerukan kepada syahadat dan bai’at. Mereka beralasan bahwa umat islam saat ini belum bersyahadat sehingga belum syah keisalamannya, juga tidak berbai’at sehingga mereka terlepas dari jamaah islam.

Kelompok-kelompok ini kemudian merekrut anak-anak muda dari kalangan pelajar dan mahasiswa yang rendah tingkat pemahaman agamanya.

Syahadat dan Bai’at memang Masyru’ (disyariatkan) dalam Islam. Akan tetapi Islam telah mengatur bagaimana syahadat dan bagaimana bai’at. Syahadat dan bai’at merupakan dua hal yang berbeda. Tidak bias disamakan satu sama lain. Oleh karenanya saya merasa terpanggil untuk menjelaskan kedua hal ini dengan proporsi yang benar. Saya memohon kekuatan dan petunjuk kepada Allah semoga Allah member saya kemudahan dalam menyelesaikan tulisan ini.

Saya ucapkan terimakasih kepada Syaikh DR. Mahmud Al-Khalidi atas bukunya yang sangat bermanfaat. Juga kepada Syaikh Ali Hasan Bin Ali Abdul Hamid atas penjelasannya tentang Bai’at Syar’ie. Semoga Allah merahmati kalian berdua.Amiin

Definisi Syahadat dan Bai’at

a.       Syahadat : Syahadat berasal dari kata syahada – yasyhadu – syuhudan – syahidan, artinya menyaksikan. Menurut istilah, syahadat artinya penyaksian kesadaran manusia, bahwa di alam raya ini tidak ada ilah melainkan Allah swt (Abd. Marjie, 2003:125). DR. Shalih (1998) membedakan antara definisi syahadat la ilaha illallah dan syahadat muhammadan Rasulullah. Menurutnya definisi syahadat la ilaha illallah ialah beritikad dan berikrar bahwasannya tidak ada yang berhak disembah dan menerima ibadah kecuali Allah swt, mentaati hal tersebut dan mengamalkannya. La ilaha menafikan hak penyembahan dari selain Allah, siapapun orangnya. Illallah adalah penetapan hak Allah semata untuk disembah. Sedangkan makna syahadat muhammadan Rasulullah yaitu meyakini secara lahir batin bahwa beliau adalah hamba Allah dan Rasul-Nya yang diutus kepada manusia secara keseluruhan, serta mengamalkan konsekuensinya; mentaati perintahnya, membenarkan ucapannya, menjauhi larangannya, dan tidak menyembah Allah kecuali dengan apa yang disyariatkannya.

b.      Bai’at : Baiat secara bahasa ialah berjabat tangan atas terjadinya transaksi jual beli, atau berjabat tangan untuk berjanji setia dan taat. Baiat juga mempunyai arti : janji setia dan taat. Dan kalimat “qad tabaa ya’uu ‘ala al-amri” seperti ucapanmu (mereka saling berjanji atas sesuatu perkara). (Lihat Lisanul Arab al-Muhith (I/299) dan an-Nihayah (I/174). Sedangkan “Bai’at” Secara Istilah (Terminologi) adalah “Berjanji untuk taat”. Seakan-akan orang yang berbaiat memberikan perjanjian kepada amir (pimpinan)nya untuk menerima pandangan tentang masalah dirinya dan urusan-urusan kaum muslimin, tidak akan menentang sedikitpun dan selalu mentaatinya untuk melaksanakan perintah yang dibebankan atasnya baik dalam keadaan suka atau terpaksa.

Setelah kita melihat definisi Syahadat dan bai’at maka kita akan menemukan perbedaan yang sangat mencolok yaitu bahwa Syahadat itu berbunyi asyhadu alla ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar rasulullah, sedangkan bai’at itu berbunyi ubayi’ukum ‘alas sam’i wath-tha’ah fi tha’atillai wa rasulihi. Artinya Syahadat adalah pengakuan kita kepada Allah sebagai Tuhan yang tiada Tuhan selain Allah, serta Muhammad SAW adalah utusan Allah. Sedangkan Bai’at adalah janji seseorang untuk tunduk dan patuh kepada seorang pemimpin.

Untuk Siapakah Syahadat Dan Bai’at itu???

a. Syahadat itu adalah ikrar tentang masalah tuhan dan kenabian, di mana seorang muslim menyatakan tidak ada tuhan yang patut disembah kecuali Allah, sekaligus ikrar bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah. Sedangkan ba’iat adalah ikrar untuk mengangkat seseorang menjadi pemimpin dan pernyataan siap untuk mentaatinya.

Sehingga jelaslah bahwa syahadat itu bukan bai’at dan bai’at itu bukan syahadat. Syahadat itu sebagai ikrar dari seorang non muslim untuk masuk Islam, sedangkan bai’at itu adalah sumpah atau pengangkatan seseorang untuk dijadikan pemimpin.

Kemudian bila ada pertanyaan “apakah kita yang lahir dari keluarga yang kedua orang tuanya muslim harus bersyahadat’?. Untuk menjawab hal ini ada sebuah hadist yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra. : Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak mempersekutukan Allah) tetapi orang tuanya lah yang menjadikan dia seorang yahudi atau nasrani atau majusi sebagaimana seekor hewan melahirkan seekor hewan yang sempurna. Apakah kau melihatnya buntung?” kemudian Abu Hurairah membacakan ayat-ayat suci ini: (tetaplah atas) fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. (Hukum-hukum) ciptaan Allah tidak dapat diubah. Itulah agama yang benar. Tapi sebagian besar manusia tidak mengetahui (QS Ar Rum [30]:30).

Hadist diatas memberikan penjelasan yang sangat jelas bagi kita bahwa setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah (yaitu mentauhidkan Allah). Jika kemudian dia tumbuh dalam keluarga Islam maka ia memang menjadi muslim dan akan tetap menjadi muslim apabila dia tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan dan menggugurkan keislamannya. Namun Apabila dia kemudian melakukan hal yang membatalkan keislaman secara substansial dia bukan lagi seorang muslim meskipun ia menyandang gelar atau dikenal sebagai muslim.

Penjelasan ini masih menyisakan satu pertanyaan “Bagaimana dengan Definisi Iman; Diyaikini dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan??. Semakin jelas sebenarnya bahwa dalam definisi iman tersebut tidak ada kalimat harus bersyahadat. Bahkan Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi menyebutkan bahwa diucapkan dengan Lisan adalah rukan tambahan bukan rukun yang asli. Sehingga pelafalan iman sebagaimana dalam definisi Iman diatas adalah sebuah keutamaan bagi mereka yang mampu melafalkannya karena yang diinginkan dari keimanan adalah penerimaan dengan sepenuh hati apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan Muhammad SAW sebagaimana firman Allah “Maka demi Rabbmu, mereka tidak beriman sampai menjadikan engkau (wahai Muhammad) sebagai pemutus perkara pada semua perselisihan yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka tidak mendapati di dalam diri-diri mereka adanya perasaan berat untuk menerima keputusanmu dan mereka berserah dengan sepenuh penyerahan diri.” (QS.An-Nisa`: 65). Juga sabda Rasulullah SAW “Iman mempunyai 73 sampai 79 cabang, yang paling utama -dalam sebagian riwayat: Yang paling tinggi– adalah ucapan ‘laa ilaha illallah’, yang paling rendahnya adalah menyingkirkan duri dari jalanan dan malu adalah salah satu dari cabang-cabang keimanan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Dari hadist ini disebutkan mengucapkan La ila ha illallah adalah setinggi-tingginya keimanan. Artinya mengucapkannya adalah sebuah keutamaan. Selain dari itu umat Islam pasti senantiasa melafalkan syahadat pada setiap kali dia shalat.

Bersyahadat bukanlah pernikahan atau shalat, karenanya bersyahadat tidak memerlukan rukun, syarat atau saksi, juga tidak memerlukan tempat khusus. Kenapa??karena memang syahadat itu hanya sebuah pelafalan kalimat tauhid, yang bisa di ucapkan dimana saja dan kapan saja. Ini bisa dilihat dari riwayat tentang keislaman raja Najasy yang baru diketahui Rasul setelah raja Najasy tersebut meninggal. Rasul memperoleh keterangan bahwa raja Najasy telah masuk Islam dari berita yang disampaikan oleh malaikat Jibril.

b. Bai’at adalah akad, ini sangat berbeda dengan syahadat yang hanya persaksian atau pengakuan tenyang ketuhanan Allah dan kerasulan Muhammad SAW. Karena bai’at adalah akad, maka dia memerlukan syarat dan rukun sebagaimana kebanyakan akad-akad yang lain. Rukun Bai’at adalah: 1. Muslim. 2. Berakal. 3. Baligh. 4. Ridha dan Ikhtiayar (berdasarkan pilihan sendiri).

Ba’iat hanya ditunjukkan kepad kepala Negara (dalam hal ini adalah Khalifah). Sehingga tidak dianggap bai’at seseorang yang menyerahkan loyalitasnya kepada ketua jamaah atau kelompok tertentu.  Sebagaimana  Hadist riwayat Abu Hurairah ra. Dari Rasulullah saw. beliau bersabda “Dahulu Bani Israil itu dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi mangkat, maka akan digantikan dengan nabi lain. Dan sesungguhnya tidak ada seorang nabi pun setelahku dan akan muncul para khalifah yang banyak. Mereka bertanya: Lalu apakah yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi saw. menjawab: Setialah dengan baiah khalifah pertama dan seterusnya serta berikanlah kepada mereka hak mereka, sesungguhnya Allah akan menuntut tanggung jawab mereka terhadap kepemimpinan mereka.”(HR. Muslim no. 3429)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa melepaskan tangan dari ketaatan, dia akan bertemu Allah pada hari kiamat dengan tidak memiliki hujjah (argumen). Dan barang siapa mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, dia mati dengan keadaan kematian jahiliyah”[HR Muslim, no. 1851. Ahmad dalam al-Musnad, 2/133. Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah, no. 91, dan lainnya; dari ‘Abdullah bin ‘Uma]

Maksud baiat dalam hadits ini ialah baiat taat kepada imam yang disepakati oleh kaum muslimin. Imam yang memiliki kekuasan, menegakkan syariat Islam, hudud, mengumumkan perang maupun damai, dan lain-lainnya berkaitan dengan kewajiban dan hak seorang imam. Demikian jenis baiat yang dibicarakan oleh para ulama dalam kitab-kitab fiqih. Hukum baiat ini adalah wajib, jika memang ada imam kaum muslimin sebagaimana di atas. Melepaskan baiat merupakan dosa besar, sebagaimana nanti akan kami nukilkan penjelasan ulama dalam masalah ini.

Adapun makna “dia mati dengan keadaan kematian jahiliyah”, dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut.

1. An-Nawawi rahimahullah berkata: “Yaitu di atas sifat kematian orang-orang jahiliyah, yang mereka dalam keadaan kacau, tidak memiliki imam”[ Syarah Muslim, 12/238]

2. Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Orang-orang jahiliyah tidak membaiat imam, dan tidak masuk ke dalam ketaatan imam. Maka barang siapa di antara kaum muslimin yang tidak masuk ke dalam ketaatan kepada imam, dia telah menyerupai orang-orang jahiliyah dalam masalah itu. Jika dia mati dalam keadaan seperti itu, berarti dia mati seperti keadaan mereka, dalam keadaan melakukan dosa besar”[ Al-Mufhim, 4/59]

3. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan sifat kematian jahiliyah, ialah seperti matinya orang-orang jahiliyah yang berada di atas kesesatan dan tidak memiliki imam yang ditaati, karena orang-orang jahiliyah dahulu tidak mengenal hal itu. Dan yang dimaksudkan, dia mati bukan dalam keadaan kafir, tetapi dia mati dalam keadaan maksiat. Dan dimungkinkan, bahwa permisalan itu seperti lahiriyahnya; yang maknanya dia mati seperti orang jahiliyah, walaupun dia bukan orang jahiliyah. Atau bahwa kalimat itu disampaikan sebagai peringatan dan untuk menjauhkan, sedangkan secara lahiriyah bukanlah yang dimaksudkan”.[ Fathul-Bâri, 13/9, syarah hadits no. 7054]

Uraian diatas menegaskan bahwa yang berhak menerima bai’at adalah Imam (kepala Negara/ Khalifah). Sebagaimana yang di ungkapkan oleh Imam Ahmad ketika ditanya tentang bai’at ini dia berkata: ” Bai’at ini adalah bai’at untuk Imam“. Bai’at tidak diberikan kecuali kepada waliyul amr-nya (penguasa) kaum muslimin yaitu khalifah yang memimpin, menjaga dan melindungi kaum muslimin.

Baiat taat ini tidak boleh diberikan kepada pemimpin-pemimpin kelompok-kelompok dakwah. Karena baiat taat yang dilakukan Salafush-Shalih hanyalah diberikan kepada penguasa kaum muslimin. Dengan demikian, orang-orang yang digelari imam, syaikh, amir, ustadz, atau semacamnya yang muncul dari kalangan ketua-ketua thariqah, yayasan, jamaah, ataupun lainnya, sedangkan mereka tidak memiliki wilayah dan kekuasaan sedikitpun, maka mereka sama sekali tidak berhak dibaiat. Baiat kepada mereka merupakan bid’ah dan memecah-belah umat.

Siapapun yang mengkaji hadis Nabi s.a.w. akan menemukan bahawa baiah terhadap khalifah ada dua jenis: (1) Baiat In‘iqad, yakni baiah yang menunjukkan orang yang dibaiah sebagai khalifah, pemilik kekuasaan, berhak ditaati, ditolong, dan diikuti; (2) Baiat Taat, iaitu baiah kaum Muslim terhadap khalifah terpilih dengan memberikan ketaatan kepadanya. Baiah Taat bukanlah untuk mengangkat khalifah, kerana khalifah sudah ada.

Kesimpulan

Syahadat adalah Ikrar keislaman seseorang ketika dia ingin memasuki agama Islam. Sedangkan bagi yang sudah terlahri dari keluarga muslim, maka tidak ada kewajiban untuk melaksankan syahadat. Yang ada adalah mendalami,memahami dan mengamalkan apa yang menjadi konsekwensi dari Keislamannya. Orang yang membatalakan keislamannya adalah kafir. Pembatalan keislaman dikarenakan 2 hal: (1) tidak mengimani Allah dan rasulnya. (2). Mengingkari seluruh atau sebagian hukum Islam.

Bai’at adalah janji setia kepada Khalifah. Bukan kepada ketua jamaah atau kelompok tertentu.

Para shahabat Nabi SAW dahulu awalnya pun masih kafir. Lalu mereka masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Sejak awal mula turunnya wahyu, sudah banyak shahabat yang masuk Islam. Hingga menjelang hijrah ke Madinah baru ada bai’at. Ini menunjukkan bahwa syahadat itu bukan bai’at dan bai’at itu bukan syahadat. Di dalam sirah nabawiyah, keduanya dipisahkan oleh jarak waktu hampir 10 tahun. Dan para shahabat nabi SAW yang masuk Islam di awal mula turun wahyu tetap dianggap muslim, meski mereka tidak ikut berba’ait.

Perlu diketahui bahwa bai’at di dalam sirah nabawiyah ada beberapa kali. Yang awal pertama terjadi adalah bai’at Aqabah I dan bai’at Aqabah II. Dua-duanya hanya untuk para anshar dari Yatsrib . Adapun para shahabat yang lainnya tidak ikut berbai’at. Kalau dikatakan bahwa yang tidak bai’at itu kafir, seharusnya Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali itu kafir, lantaran tidak ikut bai’at.

Jadi pemahaman yang menyatakan belum menjadi muslim orang yang belum berbai’at jelas sekali salahnya, bahkan bertentangan dengan realita sejarah di masa Nabi SAW, juga bertentangan dengan manhaj salafushalih, serta bertentangan dengan ilmu aqidah dan syariah. Tidaklah ada orang yang mau dicocok hidungnya dengan doktrin sesat seperti ini kecuali orang-orang yang lemah iman, kurang ilmu dan jahil terhadap agamanya sendiri.

Dengan selesainya uraian ini. saya berharap kepada Allah semoga tulisan ini bisa memberikan gambaran yang utuh bagi yang membacanya sehingga tidak tersesat kepada faham-faham aneh. Allahu Muwafiq Illa Aqwamit-thariq

Alfaqir Ila rahmati Rabbi

Saif Muhammad Al-Amrin